File download is hosted on Megaupload
Rubrik 5 Best Album (our guest’s choice) akhirnya kembali lagi! Kali ini mengundang Pam.
Pam adalah mantan vokalis band punk-rock legendaris Bandung dari era 90-an, Runtah. Selain itu pada akhir 90-an, Pam juga punya band digital-hardcore / anarcho-punk yang bernama Kontaminasi Kapitalis. Pam juga merupakan salah seorang pendiri label rekaman independen ternama Bandung, Riotic Records.
Selain bermusik, tulisan-tulisan Pam juga banyak beredar di berbagai media independen lokal yang mengusung tema anarkisme dan politik radikal, pada era 2000-an.
Kini Pam bekerja di Jakarta sebagai seorang art-consultant.
Sebenarnya di rubrik ini tiap kontributor hanya boleh menulis lima album favoritnya saja, namun Pam ternyata menulis tujuh album. Yasuw lah… Hahaha
==================================================================================
01. DURAN DURAN – Decade: Greatest Hits (EMI, 1989)
Duran Duran adalah grup musik yang pertama kali kusukai. Ini bukanlah kaset pertama yang kubeli, tapi ini adalah album pertama yang paling kusukai. Tidak ada alasan lain kenapa aku suka Duran Duran, selain karena memang aku tumbuh di masa di mana Duran Duran dan gelombang synth-pop melanda dunia—termasuk SD tempat aku sekolah. Sesederhana itu saja. Kenapa album ini yang kusuka—dan masih kudengarkan hingga saat ini—adalah karena di album ini semua lagu terbaik Duran Duran hadir. Oya, ini album yang juga selalu mengingatkanku pada cinta pertamaku, kita sebut saja dia Feb. Ia yang mengenalkan grup ini padaku, ngomong-ngomong. Terima kasih, Feb.
02. SEX PISTOLS – The Great Rock ‘n’ Roll Swindle (Virgin, 1979)
Semua orang berkata bahwa album Nevermind the Bollocks adalah yang terbaik, tapi bagiku tidak. Musik mentah punk rock seperti dalam Nevermind the Bollocks semua grup punk rock era tersebut juga demikian. Tapi apakah ada dari grup-grup punk rock yang mampu membuat album sekaya The Great Rock ‘n’ Roll Swindle? Di sini kita bisa mendengarkan suara tidak hanya dari Johnny Rotten saja, tapi juga Steve Jones, Ronnie Biggs, Ten Pole Tudor, dan lainnya. Tanpa album ini, rasanya aku tidak akan pernah jatuh cinta pada punk-rock kala aku duduk di bangku SMA dan duniaku berubah.
03. ENYA – Shepherd Moons (Warner Music, 1991)
Album ketiga Enya, tapi album Enya pertama yang kusuka. Banget. Setelah mulai masuk ke era punk rock yang mengakomodir kemarahanku yang tidak jelas dan kekesalanku di masa kuliah yang juga tak kalah berkabut, di sisi lain aku begitu merindukan sebuah momen yang menenangkan—selain Rivotril—dan seorang kawan kuliahku menyarankan Enya. Saat aku mencoba, dengan nekat membeli kasetnya padahal belum pernah mendengarkannya, ternyata sarannya tepat. Aku melengkapi seluruh album yang ada, termasuk mini albumnya, dan selalu, di sela-sela irama punk rock dari boombox Phillips di kamarku, sesekali akan terdengar alunan Enya. Maksudnya, masa itu ya. Sampai sekarang, setiap kali aku mengingat masa-masa aku mengalami kegamangan parah di awal kuliahku, sayup-sayup aku pasti mendengar Enya di latar belakang kepalaku, mengiringi kenangan tersebut.
04. THE CRANBERRIES – Everybody Else Is Doing It, So Why Can’t We? (Island, 1993)
Album pertama yang muncul di toko kaset Aquarius, Dago. Ini album yang menurutku paling berbeda dari album-album lainnya yang lebih nge-rock, tapi justru malah paling kusuka. Kalau mau album rock, aku jelas lebih memilih L7 dibanding mendengarkan vokal Dolores O’Riordan. Album inilah yang selalu mengiriku dan dua orang kawanku berjalan-jalan menghabiskan waktu di mobil yang dikemudikan tanpa arah tujuan pasti, sekitar selama setahun sebelum aku akhirnya memutuskan untuk keluar dan meninggalkan kuliahku. Aku tak akan pernah melupakan masa-masa tanpa tujuan tersebut, sebagaimana aku tak akan pernah melupakan musik yang mengiringi perjalananku.
05. CRASS – The Feeding of the 5000 (Crass Records, 1979)
Selepas kuliah, aku mulai berkenalan dengan banyak punk rocker di Bandung, mulai juga berdandan layaknya seorang punk rocker. Pertama kali aku mendengar album ini awalnya karena Ebenk dari Burger Kill, yang juga baru pertama kali kukenal, memberikan kaset rekaman abu-abu padaku dan berkata, “Belum punk kalau nggak dengar album ini”. Sebagai seorang punk rocker awal yang naif, haus pengakuan dan banyak gaya, tentu saja aku menjawab tantangan tersebut. Berulang kali aku memutarnya di kamarku setelahnya, tapi aku tak juga bisa menerima musik dari grup punk rock aneh ini. Hingga satu saat aku di bawah pengaruh ganja, kesal dengan berita-berita soal apa yang dilakukan oleh Orde Baru lewat selebaran gelap yang kudapat dari seorang aktivis mahasiswa, dan mendadak musik ini mengalun dan terdengar dengan begitu tepat di telingaku. Terima kasih, Ebenk. Terima kasih, ganja.
06. PULP – Different Class (Island, 1995)
Pada masa aku masih sering berkumpul dengan kawan-kawan punk di jalanan, rasanya mendengarkan musik Britpop bisa jadi terdengar janggal. Apalagi dengan gaya panggung Jarvis Cocker yang cukup gemulai. Tapi aku tidak bisa tidak, mengakui bahwa aku menyukai musik mereka. Aku banyak mendengar album ini di momen di mana aku menyadari bahwa aktivitas politik itu membosankan dan aku justru mendengar kelebatan-kelebatan kesadaran kelas di antara lirik-lirik Cocker di album yang justru sama sekali tidak terdengar radikal ini. Liriknya begitu membumi dan temanya juga tema harian, bukan tema besar seperti “Hancurkan negara! Lawan Kapitalisme!” yang menjadi acuan penulisan lirik kebanyakan grup punk rock. Entah apakah memang itu intensi dari mereka atau bukan, tapi apabila engkau pernah mempelajari Marxisme, bukankah kesadaran kelas itu yang tertangkap saat kita mendengar “Common People” dan “Disco 2000”?
07. MANIC STREET PREACHER – Forever Delayed (Epic, 2002)
Meninggalkan dan menjaga jarak dari kelompok-kelompok aktivis, sekaligus di mana pertemuanku dengan kawan punk rocker yang semakin jarang, aku mulai membangun hidup yang lebih tertata kala sebuah pertemuanku dengan seorang perempuan muda justru mengembalikan telingaku pada grup musik yang awalnya kudengar di awal aku menjadi seorang punk rocker. Dulu aku menyukai grup ini tapi tak dalam kadar yang tinggi, hanya sekedar tahu saja. Seiring pertemuanku dengan perempuan ini, semakin aku mengakrabi grup musik ini. Hingga suatu saat aku tak pernah lagi berjumpa dengannya, musik dari grup ini masih melekat di hatiku. Lagi, dan lagi. Aku kini memang lebih banyak mendengarkan album baru mereka, Rewind the Film yang lebih nostalgis dan melankolis, tetapi Forever Delayed tetap menempati peran penting di hati dan telingaku. Album ini tak pernah lenyap dari playlist di laptopku. Hingga kini.