File download is hosted on Megaupload
Damascus – Superblaster (Anoa Records, 2018)
Momentum adalah salah satu hal penting yang menentukan nasib sebuah band. Momentumlah yang bisa membuat sebuah album atau band meledak. Semuanya harus tepat pada waktunya.
Damascus adalah band yang terbentuk pada kisaran tahun 2007, namun baru merilis album debutnya pada tahun 2018; 11 tahun setelah bandnya berdiri!
Di scene luar maupun lokal pada pertengahan decade 2000-an memang ada semacam resureksi musik-musik shoegazing, baik itu musik nu-gaze maupun shoegaze tradisional oleh band-band baru. Damascus pun bagian dari kebangkitan tersebut.
Sayangnya band yang bisa disebut sebagai “supergrup indie Jakarta” ini tidak merilis sesuatu di kala shoegaze sedang mengalami momentum. Karena jika Damascus merilis albumnya di era paruh akhir 2000-an kemarin, bisa saja mereka akan menjadi sebesar atau se-cult Sugarstar atau MellonYellow. Kehilangan momentum? Jelas.
Tapi balik lagi ke ‘penyakit’ band-band shoegaze lokal yang jarang bisa sampai merilis album penuh, atau setidaknya bisa bertahan eksis pasca merilis mini album atau album penuh, memang jarang sekali band shoegaze lokal yang bisa mencapai level tersebut. Oke, The Milo bisa kalian sebut sebagai pengecualian, itu pun kalau mereka masuk ke kategori shoegazing (The Milo lebih dekat ke dreampop).
Setelah kehilangan momentum, Damascus pun sepertinya juga tidak berusaha lebih keras untuk penggarapan album penuhnya. Ya, Superblaster (2018) terasa kurang optimal karena hanya direkam dengan cara live-overdub / live-track, jadi di sini kita tidak akan bisa menikmati secara detail layer dan tekstur dari tiap lagu yang biasanya menjadi sajian utama band-band shoegaze.
Kemudian karena direkam secara live-overdub, vocal-works di album ini terasa kurang optimal, bahkan vokal di beberapa track terlihat cukup kepayahan. Untung saja semua itu bisa tertutupi oleh aransemen, musikalitas, serta penulisan lagu yang baik.
Sudah ada dua celah besar di Superblaster (2018): yakni kehilangan momentum dan juga penggarapan rekaman yang kurang maksimal. Tapi kalau mau dilihat sisi cerahnya, setidaknya album ini menjadi bukti bahwa ada band shoegaze lokal generasi lawas yang bisa lepas dari kutukan dan mampu merilis album penuh.
Genre musik: Shoegazing, Grunge, Alternative-Rock
Untuk penggemar: Catherine Wheel, (early) Ride, Swirlies, Lilys & Swervedriver
